Friday, August 5, 2011

The First Day


Sabtu, 30 Juli 2011 - Bersama keluarga dan salah seorang teman, kami mulai menapaki perjalanan menuju icon perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Indonesia. Dengan kendaraan seadanya berbekal tekad dan niat yang kuat untuk berkuliah, kami menikmati perjalanan tersebut dengan senang hati. Teramat banyak barang-barang yang ku bawa sebagai perlengkapan anak kos mulai dari pakaian, peralatan mandi, magicom dan masih banyak lagi. Kulalui detik demi detik kesunyian malam dan derapan mesin mobil dengan merenung diri. Tertanggal tiga puluh Juli, ya itu artinya lusa adalah awal Ramadhan. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku menjalankan awal Ramadhan tanpa keluarga.

Tuntutan yang mengharuskanku berpisah dari keluarga untuk sementara waktu. Bagaimana tidak ? Mustahil benar, bila ku harus laju Tegal-Depok dan Depok-Tegal dalam keseharian. Pastinya teramat lelah karena memakan waktu yang panjang. Inilah saatnya ku belajar mandiri, mencoba memahami lingkungan baru tanpa dampingan orang tua, belajar beradaptasi, membawa diri ke dalam suasana positif, mengatur diri sendiri, dan menjadikan diri sendiri lebih baik dari sebelumnya. Awalnya terasa amat sulit, namun seiring berjalannya waktu semua akan terasa lebih ringan. Semoga saja.

Sejak kecil atau bahkan sejak ku berada dalam kandungan, kedua orang tuaku begitu menyayangiku dan mencintaiku apa adanya meski sampai saat ini, aku masih belum bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan, yang dapat kulakukan hanyalah berusaha menjadi seperti pengharapan mereka. Ya, meskipun sulit dan tak sempurna tentunya. Aku hanyalah gadis kecil yang memang sangat dekat dengan Ibu. Bahkan ku menggantungkan segala sesuatu kepada Ibu, apapun itu. Beliaulah yang menjadi semangat hidupku, meski bibirku sangat sulit melontarkannya tetapi inilah yang tersirat. Biasanya, siang hari seperti ini, aku dan ibu duduk berdua, mendiskusikan sesuatu, saling bercerita dan bercanda tawa sambil menunggu adik pulang sekolah. Malam harinya, biasanya kami sekeluarga berkumpul, berbagai motivasi, saran, dan nasihat terucap dari ayah dan ibu. Tetapi sekarang, sangat berbeda ! Aku berada dalam ruangan 3x4 meter seorang diri, sepi, dan sunyi. Jujur aku sangat merindukan masa-masa itu, masa dimana kami berkumpul bersama, tapi apa daya, lagi-lagi tuntutanlah yang merubah semuanya.

Adikku, benar aku merasa kehilangan dia, kini dalam ruangan sempit ini, tak ada lagi orang yang bisa kugoda, tak ada lagi yang dapat kuajak bertengkar, dan tak ada lagi yang kuajak bermain. Meski terkadang dia sangat menyebalkan dan membuatku menangis dengan segala tingkah dan ulahnya, namun aku sangat menyayanginya. Dialah saudaraku satu-satunya yang tak akan pernah terganti sampai kapanpun. Bagaimanapun dia, dia tetap saudaraku yang akan melindungiku dan membantuku kelak, karena sebaik-baik orang lain tetap saudaralah yang terbaik. Aku tak pernah menyangka, rupanya adikku begitu berat meninggalkanku sendiri disini, bahkan ia sampai menangis terisak-isak dan memanggil namaku. Hatiku tersentuh, sebenarnya aku pun ingin menangis, namun aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar serta hanya tertawa haru melihat adikku sambil sedikit menggodanya. Mau bagaimana lagi, kami harus terpisahkan oleh jarak, setidaknya masih ada jarkom untuk kami tetap berkomunikasi satu sama lain.

Awal Agustus – Hari pertama aku seorang diri di kos, tidak banyak hal yang kulakukan disini. Mungkin bersih-bersih kamar adalah kegiatan favoritku. Aku masih ingat benar semua kata-kata ibuku, utamakan kebersihan karena ia adalah cermin bagi diri kita sendiri. Aku hanya mencoba mempraktekkannya karena acap kali di rumah, terkadang aku masih menggantungkannya pada ibuku. Rupanya begitu menyenangkan melihat keadaan di sekeliling kita tertata rapi yang tentunya hasil dari jerih payah sendiri tanpa bantuan ibu ataupun orang lain. 

Mengais makanan berbuka, suatu hal pertama yang kutemui, biasanya ta’jil sudah siap di meja makan, kini ku harus melangkah pergi mencari lauk dan menanak nasi sendiri demi mencukupi kebutuhan jasmani. Begitu juga dengan minuman pembuka ala kadarnya. Sebagai anak kos, sebisa mungkin memanage uang saku dari orang tua dengan baik dan tidak boros. Entah bagaimana caranya, agar uang saku yang diberikan dapat tersisa dan tersimpan sebagai uang tabungan sekaligus uang cadangan bila ada kebutuhan mendesak. Istilahnya ‘belajar untuk tidak konsumtif’.

Kembali lagi, rasanya sangat amat teramat begitu hampa tanpa kehadiran orang tua di sisi kita, mendengar suara mereka melalui telepon tidak membuatku puas, inginku adalah face to face, lagi-lagi itu mustahil. Ya, seandainya pintu kemana saja Doraemon bukan sekedar fiktif belaka, hmm pasti menyenangkan.

Dengan perubahan ini, ku mulai menyadari betapa masih panjangnya perjalanan hidupku ke depan. Aku bukanlah anak kecil lagi yang selalu menggantungkan hidupnya pada orang tua, tetapi seseorang dewasa yang juga harus berfikir dewasa dimana mampu menemukan sebuah kunci mengatasi berbagai persoalan hidup yang semakin kompleks. Tentunya secara logis dan realistis. Sebuah siklus kehidupan, potrait kehidupan dan manis pahitnya kehidupan. Mencoba memaknai berbagai asam garam menjadi untaian kepingan dalam sebuah permainan hidup. Siapa yang kuat dan mampu bertahan, dialah PEMENANGNYA. Mari berusaha memenangkan hidup ini !

Liburan atau Pembodohan Massal ?


            Di tengah kesibukan dan aktivitas yang berjubel, tentunya Anda sangat merindukan satu hari, satu minggu, atau mungkin satu bulan untuk kembali menjernihkan pikiran dari berbagai beban emosi maupun spiritual, yang dikenal dengan istilah “refreshing”. Kegiatan “refreshing” selalu diidentikan dengan liburan. Liburan dapat dikonversikan ke dalam berbagai bentuk kegiatan; tidak hanya berkutat pada liburan ke pantai misalnya. Meluangkan waktu selama empat jam untuk cuci mata di mall atau sekedar bertemu sahabat pena juga termasuk bentuk “refreshing diri”. Liburan di rumah sekalipun dapat menjadi hal yang mengesankan dan indah bila Anda dapat mengemasnya dalam suasana gembira dan menyenangkan. Kegiatan tersebut merupakan satu hal yang esensial mengingat kapasitas otak manusia yang tidak mampu menerima lecutan beban secara kontinu tanpa sedikit jeda sekalipun.  Hal tersebut adalah suatu kewajaran; sebagai manusia yang dibekali akal dan pikiran serta menyandang makhluk Tuhan paling sempurna, manusia memiliki hasrat untuk menginginkan sesuatu maupun melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan dirinya sendiri. Akan tetapi, terkadang kita salah tafsir akan arti “liburan” itu sendiri. Kesalahan tafsir tersebut tidak hanya terjadi pada penulis, sebagian dari Anda pasti memiliki mindset demikian.

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, liburan didefinisikan sebagai bebas dari kerja atau tidak masuk sekolah; pergi ( bersenang-senang, bersantai,dsb ) menghabiskan waktu libur. Setiap manusia membutuhkan waktu libur sebagai kebutuhan jasmani yang perlu dipenuhi. Tidak peduli dia berasal dari golongan kecil sekalipun, pasti membutuhkan waktu libur di sela-sela daya dan upaya untuk bertahan hidup. Seperti kita tahu definisi liburan tidak hanya identik dengan wisata, ada banyak alternatif lainnya tanpa harus menghabiskan banyak uang.

Lalu apa hubungannya liburan dengan pembodohan massal ?

          Melihat pengalaman penulis sendiri sebagai mahasiswa baru tahun 2011 di salah satu universitas di indonesia, penulis memiliki kelebihan jeda waktu liburan yang teramat cukup. Setelah mendengar pengumuman SNMPTN Jalur Undangan 18 Mei lalu, tidak banyak kegiatan yang penulis lakukan. Hanya makan, tidur, nonton televisi, online, tidur lagi, begitu seterusnya. Hanya sesekali pergi ke mall untuk sekedar refreshing atau bertemu kerabat dan sahabat. Sudah dua bulan lamanya penulis menikmati masa-masa liburan tersebut. Manusia memang tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, ketika masa-masa sekolah dimana dihujani oleh tugas yang menumpuk, kita selalu mengeluh dan berkata “Seandainya waktu libur segera tiba”; namun ketika waktu libur telah datang, kita pun mengeluh lagi, menyebutkan hal yang sama “Kalo gini mending sekolah ya, bosan, tak ada kegiatan yang bisa dilakukan !”. Itulah yang terjadi pada diri penulis karena penulis merasa kebingungan akan kegiatan apa yang seharusnya dilakukan agar membuahkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Semenjak Ujian Nasional usai, penulis akui bahwa mulai saat itulah penulis memvakumkan diri dari kegiatan belajar sampai saat ini.

        Otak merupakan aset terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan ternyata kapasitas otak yang dipergunakan oleh manusia hanya maksimal 10%. Banyak penelitian selama beberapa dasawarsa terakhir, walaupun orang menggunakan kedua belahan otaknya, salah satu sisi pada umumnya cenderung mendominasi tiap individu. Tentu saja idealnya adalah mengolah dan mengembangkan kemampuan sedemikian rupa agar mempunyai perlintasan yang baik antara kedua belahan otak tersebut sehingga orang dapat merasakan terlebih dahulu apa yang diperlukan oleh situasi dan kemudian menggunakan alat yang tepat untuk menanganinya. Akan tetapi orang cenderung untuk tetap tinggal dalam "comfort zone" dari belahan dominan mereka dan memproses tiap situasi menurut preferensi otak kanan atau kirinya.            

Mengapa pembodohan massal ? 

 Ibarat sebuah pisau, ia akan tajam bila terus diasah, dan akan tumpul jika didiamkan begitu saja. Begitu juga dengan otak kita, jika kita asah dengan usaha belajar keras, ia akan terus tajam dan tentunya akan menambah kemampuan kita dalam menganalisa sebuah masalah serta mencari solusi dalam memecahkannya. Itulah salah satu cara untuk keluar dari comfort zones. Tak perlu munafik, terkadang kita merasa bosan bahkan muak dengan buku-buku mata pelajaran yang berserakan di kamar. Sepertinya halnya dalam ekonomi, ada sebuah hukum yang menyatakan menurunnya tingkat kepuasan manusia atau dikenal dengan “Hukum Gossen”. Bila suatu kebutuhan dapat terpenuhi secara terus menerus maka kita akan menjadi bosan. Begitulah Hukum Gossen menerangkan tentang sifat manusia yang selalu bosan akan hal yang sama dan monoton, seperti halnya kita yang sudah bosan dengan pelajaran-pelajaran di SMA misalnya; memanfaatkan waktu liburan dengan sebaik-baiknya tetapi “doing nothing”. Inilah pembodohan massal bukan ajang untuk merefreshing otak dan pikiran.

        Pemenuhan kebutuhan untuk pertama kalinya tentu memuaskan rasa penasaran kita. Selanjutnya akan terasa sangat biasa-biasa saja. Sama halnya dengan pertama kali kita menemui waktu libur; rasanya begitu lega terlepas dari monster-monster yang selalu menggigit waktu kita, dialah si monster tugas. Selanjutnya kita akan merasa bosan dan mengatakan “Liburan seperti ini tak ada sensasinya!”. Bukankah begitu ? Hukum Gossen merupakan hukum alam yang akan selalu ada sepanjang masa. Namun sebagai manusia yang diberi kemampuan lebih dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya, kita harus mencoba menyiasatinya agar ‘karma’ dari Hukum Gossen tidak menimpa kita.
      
      Lalu bagaimana caranya ? Salah satunya cara untuk menghindari kebosanan adalah dengan mengembangkan kreativitas yang kita miliki. Kita tidak harus mememiliki bakat tertentu untuk berkreativitas. Orang yang berbakat belum tentu kreatif, tetapi bergantung bagaimana kita memiliki keinginanan kuat, motivasi diri, serta semangat yang membawa kita memiliki daya pikiran yg kreatif, inovatif, dan tentunya edukatif. Bagaimana menurut Anda, liburan ataukah pembodohan massal ?

Created by Ria Kusuma Dewi

SISTEM KOORDINAT BIDANG EMPAT


Dua orang Perancis telah berjasa atas gagasan tentang sistem koordinat. Pierre de Fermat adalah seorang pengacara yang menggemari matematika. Pada tahun 1629, ia enulis sebuah makalah yang pada dasarnya menggunakan kooordinat untuk mendeskripsikan titik-titik dan kurva-kurva. Rene Descartes adalah seorang ahli filsafat yang berfikir bahwa matematika dapat membuka kunci rahasia alam semesta. Ia menerbitka La Geometrie pada tahun 1637. Buku itu sangat terkenal dan walaupun memang menekankan peranan aljabar dalam memecahkan masalah-masalah geometri, orang hanya menjumpai suatu petunjuk tentang koordinat disana. Berdasarkan siapa yag mempunyai gagasan pertama kali lebih gamblang, Fermat sepantasnya memperoleh pengakuan yang utama. Akan tetapi, sejarah bisa menjadi hal yang membingungkan; koordinat dikenal sebagai koordinat Cartesius, yang dinamakan menurut nama Rene Descartes.

PEMBUKTIAN DENGAN KONTRADIKSI


Pembuktian dengan kontradiksi dikenal pula dengan nama reductio ad absurdum. Hal ini yang dikemukakan oleh pakar matematika besar, G.H. Hardy. “Reductio ad absurdum yang sangat disenangi Euclid, merupakan salah satu senjata ampuh bagi para ahli matematika. Merupakan gambit yang jauh lebih ampuh sari gambit catur manapun. Seorang pemain catur dapat menawarkan pengorbanan sebuah bidak atau pun buah lain, tetapi ahli matematika menawarkan permainan”.