Thursday, August 16, 2012

Lanjutkan Pembangunan PLTU Batang!


Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) senilai Rp 35 triliun di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, akan dimulai pada Oktober 2012.

"Peletakan batu pertama proyek pembangunan PLTU di Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman, akan kami lakukan Oktober mendatang," kata Ari Wibowo, perwakilan Konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku pelaksana proyek pembangunan PLTU tersebut di Batang, Rabu.

Menurut dia, sebelum membangun bangunan induk, pihaknya membutuhkan akses jalan dan sarana lain untuk mendukung pelaksanaan proyek itu.

Saat ini PT Bhimasena Power Indonesia selaku konsorsium perusahaan swasta asing sedang menyiapkan infrastruktur pendukungnya.

Sebagai bukti komitmen PT BPI pada masyarakat Kabupaten Batang, kata dia, meski proyek PLTU berkapasitas 2 x 1.000 megawatt belum dibangun namun perusahaan sudah menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR).

Ia mengatakan bahwa PT BPI telah menyiapkan alokasi dana CSR sebesar Rp1 miliar yang bersumber dari kucuran dana PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) yang merupakan perusahaan di bawah naungan Kementerian Keuangan Indonesia sebesar Rp500 juta dan PT BPI sebesar Rp500 juta.

"Kucuran dana itu untuk membantu keperluan masyarakat pada bidang kesehatan dan pendidikan. Meski PLTU belum dibangun, kami sudah menyalurkan CSR, seperti pengobatan gratis, pengadaan air bersih, dan pendidikan yang telah mencapai Rp500 juta," katanya.

Menurut dia, meski pembangunan proyek PLTU di Karanggeneng terus menuai penolakan dari warga desa setempat namun PT BPI akan tetap membangun proyek terbesar se-Asia Tenggara itu di Desa Karanggeneng.

"Sesuai pengajuan izin lokasi yang saat ini sedang diproses di Pemkab Batang, proyek pembangunan PLTU tetap di Desa Karanggeneng," katanya.

Wakil Bupati Batang, Sutadi mengatakan bahwa proyek pembangunan PLTU akan membawa perubahan besar terhadap kemajuan daerah setempat.

"Ini proyek besar yang akan membawa perubahan besar sehingga kami berharap masyarakat juga bisa memberikan dukungan terciptanya pembangunan PLTU di Batang," katanya.

Semoga dengan dibangunnya PLTU Batang dapat merubah wajah Indonesia, mengapa? Ya dengan adanya PLTU yang memanfaatkan batubara ini dapat lebih berdaya guna masyarakat, efek positif nya akan sangat terasa asalkan tidak ada kepentingan politik di dalamnya. Selain itu, pembangunan PLTU tersebut membuka usaha baru yang berdampak meningkatkan pendapatan daerah juga negara. Pendapatan bertambah, pengangguran berkurang, alih teknologi OKE, so apalagi yang perlu ditakutkan?

Insetif Kilang Minyak dan Pemanfaatan LNG

Indonesia membutuhkan kilang minyak baru untuk ketahanan energi nasional. Namun untuk mewujudkannya tidak mudah lantaran membutuhkan investasi besar dengan margin yang kecil. Karena itu, dibutuhkan insentif dari Pemerintah. Insentif ini bisa diberikan, sepanjang masuk akal.
”Insentif kilang memang diperlukan. Tapi harus realistis. Kita bisa melakukan benchmarking, negara-negara lain bagaimana melakukannya. Sepanjang masuk akal (bisa diberikan). Kalau tidak diberikan insentif, kilang tidak akan terbangun sampai kapanpun. Kemudian ketika insentif diberikan, jangka panjang membuat security of supply,” papar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers usai Sidang Kabinet Terbatas sektor ESDM, kemarin. 

Pada saat ini, Indonesia melalui PT Pertamina menjalin kerja sama untuk pengembangan kilang Balongan dengan Kuwait Petroleum Internasional dan kilang Tuban dengan dengan Saudi Aramco. Kerja sama tersebut, menurut SBY, sudah banyak titik temu antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, Pemerintah optimis target pembangunan kilang akan terwujud.

Mengenai penambahan kapasitas kilang Balongan, lanjutnya, telah diputuskan akan direlokasi ke Bontang, Kalimantan Timur. Ini dilakukan karena adanya persoalan tanah, makelar dan provokasi yang akhirnya membuat rencana tersebut tidak dapat dilakukan.

”Terus terang, inilah yang sering membuat kandas investasi di daerah. Spekulator, makelar ditambah provokasi, akhirnya nggak jalan. Pertamina tidak cukup punya tanah di Jabar dan Jatim. Kalau harus kita penuhi, bisa menghabiskan uang  Rp 3 triliun. Sangat besar,” tegasnya.

Relokasi kilang ke Bontang dianggap tepat karena tanahnya milik PT Pertamina sendiri. Selain itu, pembangunan kilang juga akan mendukung distribusi BBM ke Indonesia Timur.

Pemerintah terakhir membangun kilang pada tahun 1994 yaitu kilang Balongan di Indramayu, Jawa Barat.

Pertamina Rintis Pemanfaatan LNG untuk Transportasi dan Rumah Tangga

PT Pertamina (Persero) mulai merintis pemanfaatan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) untuk bahan bakar bagi sektor transportasi dan rumah tangga yang diharapkan dapat menekan konsumsi BBM, mengurangi subsidi dan menghemat devisa negara.

Melalui anak perusahaan, PT Badak NGL, Senin (6/8), dilakukan uji coba penggunaan LNG untuk kendaraan operasional perusahaan. Selain itu, uji coba juga dilakukan pada tiga unit kompor rumah tangga.  

“Ini merupakan titik awal pemanfaatan LNG bagi sektor transportasi dan rumah tangga. Dimulai dari kendaraan operasional Badak NGL, diharapkan menjadi contoh untuk kedepannya dapat diperluas pemanfaatannya, baik di sektor transportasi maupun rumah tangga. Pertamina berkomitmen untuk semakin melengkapi infrastruktur yang diperlukan demi suksesnya pemanfaatan LNG untuk keperluan domestik di masa mendatang,” tutur Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan ketika menyaksikan uji coba pemanfaatan LNG untuk transportasi dan rumah tangga di lingkungan PT Badan NGL, Bontang melalui video conference.

Paradigma bisnis LNG yang sebelumnya berorientasi pada ekspor, kini mulai berubah sejak beroperasinya Floating Storage Regasification Unit Nusantara Regas 1 pada 24 Mei 2012, sebagai terminal penerima, penyimpan, dan regasifikasi LNG pertama di Indonesia yang melayani kebutuhan gas untuk PT PLN. Menjawab era LNG domestik, pengembangan berbagai aplikasi penggunaan LNG di dalam negeri semakin terbuka lebar, termasuk di antaranya untuk sektor transportasi dan rumah tangga.

Berdasarkan data statistik dari NGV Global, saat ini sudah terdapat kurang lebih 15 juta kendaraan berbahan gas yang sedang beroperasi di dunia. Pencatatan tersebut dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang berbahan bakar gas baik berupa LNG, CNG  dan LGV.

Dibandingkan dengan bensin dan solar, LNG lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi emisi sekitar 85%, dan dibandingkan CNG, LNG memiliki nilai densitas energi 3 (tiga) kali lebih besar pada volume yang sama. LNG dapat disimpan dalam tekanan rendah (1 atmosfer), dan memiliki jarak tempuh yang lebih panjang.

Selain itu, penggunaan LNG sebagai bahan bakar juga mampu mengurangi biaya operasional kendaraan karena harga LNG yang lebih murah dibandingkan harga solar non subsidi. Harga LNG berkisar di US$ 18-20  per MMBTU sedangkan solar non subsidi sekitar Rp 9.807 per liter atau setara dengan  US$ 31  MMBTU. Bahan bakar LNG sangat sesuai apabila digunakan oleh kendaraan berukuran besar dengan jarak operasional yang jauh seperti bus, truk, dan lokomotif, maupun untuk sektor angkutan laut.

Pertamina melalui anak-anak perusahaannya, yaitu PT Pertamina Gas dan PT Badak NGL mulai menggarap potensi pasar LNG, khususnya untuk sektor transportasi pertambangan di Kalimantan. Pada tahap awal, keduanya telah menjalin kerjasama dengan PT Indominco Mandiri, salah satu perusahaan besar tambang batu bara  yang beroperasi di Kalimantan, sebagai end user LNG.

Pada tahap commissioning yang ditargetkan dimulai pada 1 Desember 2012, sebanyak 4 inpit dump truck Indominco akan memanfaatkan LNG sebagai bahan bakarnya dengan perkiraan kebutuhan LNG sekitar 60 MMBTUD. Ketika diimplementasikan secara penuh, terdapat sekitar 84 high dump truck yang akan menggunakan LNG sebagai bahan bakar dengan kebutuhan LNG sekitar 3,97 BBTUD.
  
Adapun, potensi pemanfaatan LNG untuk sektor pertambangan batu bara di Kalimantan diperkirakan mencapai sekitar 0,62 juta ton per tahun. Hal itu dengan asumsi tingkat konsumsi Solar non subsidi dari empat perusahaan besar tambang batu bara yang beroperasi di wilayah itu mencapai 1,62 juta KL per tahun.

Dalam skala nasional, potensi pasar Solar di dalam negeri tahun 2012 sekitar 16,3 juta KL dan sebagiannya diperoleh melalui impor. Apabila dikonversi ke gas sebanyak 20% saja, akan dapat menghemat devisa sebesar minimal US$ 1,43 miliar per tahun.

Selain untuk sektor transportasi, LNG bisa diaplikasikan sebagai alternatif pengganti LPG di rumah tangga (household). Di berbagai belahan dunia, gas alam sudah lazim digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor rumah tangga karena lebih menjamin keamanan dan kebersihan emisi yang dihasilkan dibandingkan LPG.
LNG juga lebih murah dibandingkan harga LPG yang harganya sekitar US$ 22 per MMbtu. Untuk nilai energi yang sama, volume LNG yang diperlukan lebih rendah 14% dibandingkan dengan LPG.

Untuk merealisasikannya, memang membutuhkan sejumlah infrastruktur pendukung yang harus dipersiapkan. Pengembangan LNG station di sejumlah wilayah Indonesia akan tergantung pada sejumlah proyek Pertamina yang lain, seperti FSRU dan Mini LNG.

Pembangunan FSRU sangat dibutuhkan untuk menjamin suplai LNG di daerah yang sudah besar pasarnya namun kekurangan supply gas, misalnya di Jawa Barat, atau daerah yang tidak memiliki sumber gas, seperti Jawa Tengah. Selain itu, Mini LNG Plant dibutuhkan untuk memenuhi permintaan LNG pada daerah-daerah dekat sumber gas skala kecil.

Sumber: www.suarapembaruan.com

Monitoring Tumpahan Minyak Dengan Satelit

        Untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dari kegiatan usaha migas, pada tahun 2011, Pemerintah telah melaksanakan monitoring tumpahan minyak dengan satelit.
Program monitoring ini dapat digunakan sebagai alat yang memetakan kondisi perairan secara langsung (near real time) dan terus-menerus serta mencakup semua proses fisik yang terjadi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. 


Selain itu juga dapat mendeteksi kemungkinan ancaman yang timbul dari kegiatan usaha migas maupun dari kegiatan lainnya terhadap lingkungan hidup maupun masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung bisa dideteksi apakah tumpahan minyak berasal dari kegiatan usaha migas atau dari kapal-kapal yang melintas di perairan tersebut atau kegiatan sejenis. 



Berdasarkan data, pada tahun 2011 terdapat tumpahan minyak sebesar 188,50 barel di darat dan di laut. Tumpahan minyak di kegiatan hulu migas terjadi pada bulan Mei sebesar 165 barel dan Agustus sebanyak 16,8 barel. Dan di kegiatan hilir migas sebesar 0,7 barel pada bulan Juli 2011. 



Jumlah ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 500,10 barel dan tahun 2009 sebesar 687,44 barel. Tahun 2008, tumpahan minyak mencapai 329,87 barel.

      
        Selain dengan monitoring menggunakan minyak bumi, digunakan pula metode lainnya untuk mengientifikasi keberadaan minyak bumi. Metode yang paling cocok untuk mengetahui kandungan dan konsentrasi minyak bumi adalah metode analisis spektrum inframerah Metode ini merupakan salah satu jenis spektroskopi molekular yang sangat efektif untuk mengidentifikasi senyawa organik dan anorganik murni karena hampir semua spesi molekular (kecuali beberapa molekul homogen seperti N2, O2, dan Cl2) dapat mengabsorbsi radiasi inframerah. Tujuan utama analisis inframerah adalah untuk menentukan gugus fungsional yang ada dalam sampel. Gugus fungsional yang berbeda mengabsorbsi frekuensi yang khas dari radiasi IR. 

Dalam penggunaan metode kualitatif spektroskopi inframerah, senyawa murni, dalam hal ini kandungan tumpahan minyak, dapat diidentifikasi dengan menggunakan spektrum absorpsi. Informasi mengenai keberadaan suatu senyawa diperoleh dengan mengukur besarnya radiasi yang diserap oleh suatu unsur pada panjang gelombang tertentu. Hasil pengukuran berupa grafik (diagram) antara absorbansi (atau transmitans) versus panjang gelombang, inilah yang disebut spektrum absorpsi. Untuk analisis kualitatif, panjang gelombang yang paling sesuai akan menunjukkan absorbansi maksimum (transmitans minimum) dari suatu senyawa.