Thursday, August 16, 2012

Insetif Kilang Minyak dan Pemanfaatan LNG

Indonesia membutuhkan kilang minyak baru untuk ketahanan energi nasional. Namun untuk mewujudkannya tidak mudah lantaran membutuhkan investasi besar dengan margin yang kecil. Karena itu, dibutuhkan insentif dari Pemerintah. Insentif ini bisa diberikan, sepanjang masuk akal.
”Insentif kilang memang diperlukan. Tapi harus realistis. Kita bisa melakukan benchmarking, negara-negara lain bagaimana melakukannya. Sepanjang masuk akal (bisa diberikan). Kalau tidak diberikan insentif, kilang tidak akan terbangun sampai kapanpun. Kemudian ketika insentif diberikan, jangka panjang membuat security of supply,” papar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers usai Sidang Kabinet Terbatas sektor ESDM, kemarin. 

Pada saat ini, Indonesia melalui PT Pertamina menjalin kerja sama untuk pengembangan kilang Balongan dengan Kuwait Petroleum Internasional dan kilang Tuban dengan dengan Saudi Aramco. Kerja sama tersebut, menurut SBY, sudah banyak titik temu antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, Pemerintah optimis target pembangunan kilang akan terwujud.

Mengenai penambahan kapasitas kilang Balongan, lanjutnya, telah diputuskan akan direlokasi ke Bontang, Kalimantan Timur. Ini dilakukan karena adanya persoalan tanah, makelar dan provokasi yang akhirnya membuat rencana tersebut tidak dapat dilakukan.

”Terus terang, inilah yang sering membuat kandas investasi di daerah. Spekulator, makelar ditambah provokasi, akhirnya nggak jalan. Pertamina tidak cukup punya tanah di Jabar dan Jatim. Kalau harus kita penuhi, bisa menghabiskan uang  Rp 3 triliun. Sangat besar,” tegasnya.

Relokasi kilang ke Bontang dianggap tepat karena tanahnya milik PT Pertamina sendiri. Selain itu, pembangunan kilang juga akan mendukung distribusi BBM ke Indonesia Timur.

Pemerintah terakhir membangun kilang pada tahun 1994 yaitu kilang Balongan di Indramayu, Jawa Barat.

Pertamina Rintis Pemanfaatan LNG untuk Transportasi dan Rumah Tangga

PT Pertamina (Persero) mulai merintis pemanfaatan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) untuk bahan bakar bagi sektor transportasi dan rumah tangga yang diharapkan dapat menekan konsumsi BBM, mengurangi subsidi dan menghemat devisa negara.

Melalui anak perusahaan, PT Badak NGL, Senin (6/8), dilakukan uji coba penggunaan LNG untuk kendaraan operasional perusahaan. Selain itu, uji coba juga dilakukan pada tiga unit kompor rumah tangga.  

“Ini merupakan titik awal pemanfaatan LNG bagi sektor transportasi dan rumah tangga. Dimulai dari kendaraan operasional Badak NGL, diharapkan menjadi contoh untuk kedepannya dapat diperluas pemanfaatannya, baik di sektor transportasi maupun rumah tangga. Pertamina berkomitmen untuk semakin melengkapi infrastruktur yang diperlukan demi suksesnya pemanfaatan LNG untuk keperluan domestik di masa mendatang,” tutur Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan ketika menyaksikan uji coba pemanfaatan LNG untuk transportasi dan rumah tangga di lingkungan PT Badan NGL, Bontang melalui video conference.

Paradigma bisnis LNG yang sebelumnya berorientasi pada ekspor, kini mulai berubah sejak beroperasinya Floating Storage Regasification Unit Nusantara Regas 1 pada 24 Mei 2012, sebagai terminal penerima, penyimpan, dan regasifikasi LNG pertama di Indonesia yang melayani kebutuhan gas untuk PT PLN. Menjawab era LNG domestik, pengembangan berbagai aplikasi penggunaan LNG di dalam negeri semakin terbuka lebar, termasuk di antaranya untuk sektor transportasi dan rumah tangga.

Berdasarkan data statistik dari NGV Global, saat ini sudah terdapat kurang lebih 15 juta kendaraan berbahan gas yang sedang beroperasi di dunia. Pencatatan tersebut dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang berbahan bakar gas baik berupa LNG, CNG  dan LGV.

Dibandingkan dengan bensin dan solar, LNG lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi emisi sekitar 85%, dan dibandingkan CNG, LNG memiliki nilai densitas energi 3 (tiga) kali lebih besar pada volume yang sama. LNG dapat disimpan dalam tekanan rendah (1 atmosfer), dan memiliki jarak tempuh yang lebih panjang.

Selain itu, penggunaan LNG sebagai bahan bakar juga mampu mengurangi biaya operasional kendaraan karena harga LNG yang lebih murah dibandingkan harga solar non subsidi. Harga LNG berkisar di US$ 18-20  per MMBTU sedangkan solar non subsidi sekitar Rp 9.807 per liter atau setara dengan  US$ 31  MMBTU. Bahan bakar LNG sangat sesuai apabila digunakan oleh kendaraan berukuran besar dengan jarak operasional yang jauh seperti bus, truk, dan lokomotif, maupun untuk sektor angkutan laut.

Pertamina melalui anak-anak perusahaannya, yaitu PT Pertamina Gas dan PT Badak NGL mulai menggarap potensi pasar LNG, khususnya untuk sektor transportasi pertambangan di Kalimantan. Pada tahap awal, keduanya telah menjalin kerjasama dengan PT Indominco Mandiri, salah satu perusahaan besar tambang batu bara  yang beroperasi di Kalimantan, sebagai end user LNG.

Pada tahap commissioning yang ditargetkan dimulai pada 1 Desember 2012, sebanyak 4 inpit dump truck Indominco akan memanfaatkan LNG sebagai bahan bakarnya dengan perkiraan kebutuhan LNG sekitar 60 MMBTUD. Ketika diimplementasikan secara penuh, terdapat sekitar 84 high dump truck yang akan menggunakan LNG sebagai bahan bakar dengan kebutuhan LNG sekitar 3,97 BBTUD.
  
Adapun, potensi pemanfaatan LNG untuk sektor pertambangan batu bara di Kalimantan diperkirakan mencapai sekitar 0,62 juta ton per tahun. Hal itu dengan asumsi tingkat konsumsi Solar non subsidi dari empat perusahaan besar tambang batu bara yang beroperasi di wilayah itu mencapai 1,62 juta KL per tahun.

Dalam skala nasional, potensi pasar Solar di dalam negeri tahun 2012 sekitar 16,3 juta KL dan sebagiannya diperoleh melalui impor. Apabila dikonversi ke gas sebanyak 20% saja, akan dapat menghemat devisa sebesar minimal US$ 1,43 miliar per tahun.

Selain untuk sektor transportasi, LNG bisa diaplikasikan sebagai alternatif pengganti LPG di rumah tangga (household). Di berbagai belahan dunia, gas alam sudah lazim digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor rumah tangga karena lebih menjamin keamanan dan kebersihan emisi yang dihasilkan dibandingkan LPG.
LNG juga lebih murah dibandingkan harga LPG yang harganya sekitar US$ 22 per MMbtu. Untuk nilai energi yang sama, volume LNG yang diperlukan lebih rendah 14% dibandingkan dengan LPG.

Untuk merealisasikannya, memang membutuhkan sejumlah infrastruktur pendukung yang harus dipersiapkan. Pengembangan LNG station di sejumlah wilayah Indonesia akan tergantung pada sejumlah proyek Pertamina yang lain, seperti FSRU dan Mini LNG.

Pembangunan FSRU sangat dibutuhkan untuk menjamin suplai LNG di daerah yang sudah besar pasarnya namun kekurangan supply gas, misalnya di Jawa Barat, atau daerah yang tidak memiliki sumber gas, seperti Jawa Tengah. Selain itu, Mini LNG Plant dibutuhkan untuk memenuhi permintaan LNG pada daerah-daerah dekat sumber gas skala kecil.

Sumber: www.suarapembaruan.com

No comments:

Post a Comment