Monday, July 16, 2012

Peran Penguasaan Negara terhadap Sumber Daya Alam Indonesia Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3



Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Ayat tersebut menunjukkan bahwa segala sumber daya alam yang ada di Indonesia dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan  oleh  Negara dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila dikaji lebih mendalam, pasal tersebut menyebutkan bahwa adanya pelarangan terhadap penguasaan sumber daya alam di tangan perseorangan maupun suatu kelompok  atau dapat diartikan melarang adanya praktek oligopoli maupun monopoli yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Negara memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur,  mengurus,  mengelola,  dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Tentunya sumber daya alam  tersebut penting bagi negara dan mampu menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum  dan pelayanan umum, sehingga harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sumber daya alam yang ada harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, dan dalam suasana kemakmuran serta kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Sejauh ini pemerintah memang telah berusaha untuk menjalankan kewajibannya dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen kekayaan alam negara. Misalnya pendirian beberapa BUMN seperti Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas), PAM ( Perusahaan Air Minum), dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan amanahnya sebagai penguasa kekayaan alam negara. Namun, sungguh ironi bahwasanya praktek yang ada dewasa ini berbanding terbalik dengan tinta hitam pada sederet pasal Undang-undang Dasar 1945 tersebut. Bagaimana tidak angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi ? Apakah ini yang dimaksud ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ ? Faktanya, sistem penguasaan negara terhadap kekayaan alam Indonesia juga mengarah pada praktek monopoli yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN buatan pemerintah tanpa meminta persetujuan rakyat terlebih dahulu. Berdasarkan teori kedaulatan yang dianut oleh negara kita bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Menjamurnya peran perusahaan-perusahaan swasta berskala nasional yang menguasai sebagian perekonomian negara saat ini merupakan bukti bahwa makna dari pasal 33 ayat 3 telah tererosi dan terkikis karena menghianati tujuan sebenarnya yaitu demi ‘kemakmuran rakyat’. Dampaknya, dapat menyebabkan sempitnya pengertian ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ karena pemerintah hanya menggunakan uang pajak sebagai sumber devisa tertinggi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sedangkan  pajak merupakan hasil penarikan pemerintah terhadap rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sehingga sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh segelintir orang saja.
            Dalam sektor energi misalnya, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) merupakan pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sebagai contoh, penambang emas di Kalimantan Tengah misalnya harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar. Penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga ‘layak’ digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.
Selain itu, penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumber daya alam tidak langsung berefek bagi masyarakat lokal di sekitar areal penambangan itu sendiri, melainkan lebih banyak mengalir menuju kantong para pengusaha dan pusat pemerintahan. Meningkatnya tingkat korupsi, kurangnya kontrolisasi, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari pemerintahlah yang menyebabkan upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
            Penguasaan negara atas kekayaan alam Indonesia masih sebatas teori yang dalam praktiknya belum berjalan maksimal. Seperti kita tahu, kekayaan alam Indonesia sebagian besar berada di wilayah pedesaan seperti potensi hutan, potensi pertanian, pertambangan, perikanan, dan potensi produktif lainnya. Berdasarkan potensi alam Indonesia yang penyebarannya dapat dikatakan cukup merata, seharusnya kaum pedesaan menempati posisi paling menguntungkan dalam hal pengeksploitasian alam. Idealnya rakyat Indonesia berada dalam level kehidupan yang berkategori keluarga sejahtera dan bukan pada level kehidupan yang berkategori keluarga pra sejahtera dan keluarga miskin. Namun, kembali lagi pada fakta dan realitas yang ada, mereka yang seharusnya berada pada posisi paling menguntungkan justru berada pada posisi paling ‘dirugikan’. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa pasal 33 ayat 3 ini masih menjadi batu loncatan bagi kaum-kaum borjuis yang ingin mengeruk keuntungan besar tanpa mempedulikan hak rakyat dalam hal keterlibatannya untuk mengelola kekayaan alam tersebut. Lalu siapakah yang salah? Seharusnya pemerintah lebih mengoptimalkan haknya sebagai penguasa sumber daya alam agar tujuan untuk mencapai masyarakat madani dapat terwujud. Sedangkan, kita sebagai mahasiswa yaitu agent of change sudah seyogyanya menyatukan ilmu yang dimiliki untuk membangun Indonesia demi tercapai negara yang aman, tentram, dan sejahtera.


Ria Kusuma Dewi
1106005396
Teknik Kimia
Fakultas Teknik

No comments:

Post a Comment