“Bumi dan air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa segala sumber daya alam yang ada di Indonesia
dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan
oleh Negara dan hasilnya
digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila dikaji lebih mendalam, pasal
tersebut menyebutkan bahwa adanya pelarangan terhadap penguasaan sumber daya
alam di tangan perseorangan maupun suatu kelompok atau dapat diartikan melarang adanya praktek
oligopoli maupun monopoli yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Negara
memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan,
pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Tentunya
sumber daya alam tersebut penting bagi
negara dan mampu menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan
kemaslahatan umum dan pelayanan umum, sehingga harus
dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sumber daya alam yang ada harus
dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, dan dalam suasana kemakmuran serta
kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Sejauh ini pemerintah memang telah
berusaha untuk menjalankan kewajibannya dengan membentuk lembaga-lembaga yang
bertugas untuk mengurusi dan mengelola elemen-elemen kekayaan alam negara.
Misalnya pendirian beberapa BUMN seperti Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas), PAM
( Perusahaan Air Minum), dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah
telah menjalankan amanahnya sebagai penguasa kekayaan alam negara. Namun,
sungguh ironi bahwasanya praktek yang ada dewasa ini berbanding terbalik dengan
tinta hitam pada sederet pasal Undang-undang Dasar 1945 tersebut. Bagaimana
tidak angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi ? Apakah ini yang
dimaksud ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’ ? Faktanya, sistem penguasaan
negara terhadap kekayaan alam Indonesia juga mengarah pada praktek monopoli
yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN buatan pemerintah
tanpa meminta persetujuan rakyat terlebih dahulu. Berdasarkan teori kedaulatan
yang dianut oleh negara kita bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, untuk
rakyat, dan oleh rakyat. Menjamurnya peran perusahaan-perusahaan swasta
berskala nasional yang menguasai sebagian perekonomian negara saat ini
merupakan bukti bahwa makna dari pasal 33 ayat 3 telah tererosi dan terkikis
karena menghianati tujuan sebenarnya yaitu demi ‘kemakmuran rakyat’. Dampaknya,
dapat menyebabkan sempitnya pengertian ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’
karena pemerintah hanya menggunakan uang pajak sebagai sumber devisa tertinggi
untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sedangkan
pajak merupakan hasil penarikan pemerintah terhadap rakyat. Keterlibatan
rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga
kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama
dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sehingga sumber daya
alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh segelintir orang saja.
Dalam
sektor energi misalnya, Pertamina (Perusahaan
Minyak Negara) merupakan pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi
kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke
perusahaan-perusahaan besar. Sebagai contoh, penambang emas di Kalimantan
Tengah misalnya harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar.
Penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang
baik, sehingga ‘layak’ digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin.
Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan manfaat besar karena
kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat
tempat sama sekali dalam kebijakan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan
kehidupan mereka semakin buruk.
Selain
itu, penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumber daya alam tidak langsung
berefek bagi masyarakat lokal di sekitar areal penambangan itu sendiri,
melainkan lebih banyak mengalir menuju kantong para pengusaha dan pusat
pemerintahan. Meningkatnya tingkat korupsi, kurangnya kontrolisasi, kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dari pemerintahlah yang menyebabkan upaya untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan
sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Penguasaan negara atas kekayaan alam
Indonesia masih sebatas teori yang dalam praktiknya belum berjalan maksimal.
Seperti kita tahu, kekayaan alam Indonesia sebagian besar berada di wilayah
pedesaan seperti potensi hutan, potensi pertanian, pertambangan, perikanan, dan
potensi produktif lainnya. Berdasarkan potensi alam Indonesia yang penyebarannya
dapat dikatakan cukup merata, seharusnya kaum pedesaan menempati posisi paling
menguntungkan dalam hal pengeksploitasian alam. Idealnya rakyat Indonesia
berada dalam level kehidupan yang berkategori keluarga sejahtera dan bukan pada
level kehidupan yang berkategori keluarga pra sejahtera dan keluarga miskin.
Namun, kembali lagi pada fakta dan realitas yang ada, mereka yang seharusnya
berada pada posisi paling menguntungkan justru berada pada posisi paling
‘dirugikan’. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa pasal 33 ayat 3 ini masih
menjadi batu loncatan bagi kaum-kaum borjuis yang ingin mengeruk keuntungan
besar tanpa mempedulikan hak rakyat dalam hal keterlibatannya untuk mengelola
kekayaan alam tersebut. Lalu siapakah yang salah? Seharusnya pemerintah lebih
mengoptimalkan haknya sebagai penguasa sumber daya alam agar tujuan untuk
mencapai masyarakat madani dapat terwujud. Sedangkan, kita sebagai mahasiswa
yaitu agent of change sudah
seyogyanya menyatukan ilmu yang dimiliki untuk membangun Indonesia demi
tercapai negara yang aman, tentram, dan sejahtera.
Ria
Kusuma Dewi
1106005396
Teknik
Kimia
Fakultas
Teknik
No comments:
Post a Comment