Tuesday, October 11, 2011

Pudarnya Kilau Permata Mahasiswa Universitas Indonesia


            Sekilas menilik kembali kilasan balik akan tetesan darah para pejuang dalam menggapai seuntai kata “merdeka”. Perjuangan tiada henti selama tiga setengah abad melawan kolonialisme menorehkan secoreh perjalanan besar dari sebuah bangsa yang besar. Besar dengan sebuah keinginan, motivasi dan pergerakan. Besar dengan beragam suku dan kultur. Besar oleh semangat patriotisme dan nasionalisme. Besar oleh eloknya permadani alam. Benih-benih patriotisme yang tertanam selama pra-kemerdekaan telah berkembang menjadi tunas kebangsaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi bukti konkret tonggaknya tunas kebangsaan.

Patriotisme dan Nasionalisme
            Patriotisme didefinisikan sebagai paham cinta tanah air. Seorang pejuang sejati memiliki semangat, sikap, dan perilaku mencintai dan membela tanah airnya dengan jiwa rela berkorban, rela mengorbankan segalanya demi terwujudnya suatu visi bersama. Tidak hanya itu, seorang pejuang sejati selalu menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan kelompok ataupun kepentingan pribadinya.
            Menurut L. Stoddard, “Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa”. Nasionalisme berada pada titik persinggungan antara politik, teknologi dan transformasi sosial. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan sangat berbeda karena nasionalisme yang membawa kemajuan peradaban manusia. Nasionalisme yang melahirkan suatu bangsa, bagaimana dengan adanya paham tersebut timbullah keselarasan visi menuju satu cita, salah satunya bangsa Indonesia. Dengan visi mengalahkan kaum kolonialisme dan didasarkan pada latar belakang yang sama, para pahlawan bangsa rela gugur dalam pertempuran demi terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Adanya Sumpah Palapa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang telah lahir sejak dahulu kala,  rasa kesatuan dan persatuan pun telah terpatri kuat hingga satu momen bersejarah tertoreh pada 17 Agustus 1945.

Fenomena
            Konkret perilaku yang sesuai dengan semangat dan sikap patriotisme yaitu mengibarkan bendera Merah Putih di halaman rumah saat hari besar nasional, mengikuti upacara bendera dengan khidmat dan sungguh-sungguh, melaksanakan upacara hari besar Nasional seperti upacara kemerdekaaan, sumpah pemuda, dll serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dengan benar.
            Melihat paragraf di atas, rupanya konkret perilaku tersebut hanyalah hitam di atas putih belaka tanpa ada realisasi nyata. Contoh konkret tersebut hanya sebagai bentuk formalitas kalangan pelajar maupun masyarakat dalam menjawab sebuah wacana yaitu mengenai persoalan bagaimana cara mempertahankan jiwa patriotisme. Seperti apakah bukti konkret patriotisme tersebut? Pada tanggal 17 Agustus 2011 lalu, saya merasakan sendiri kurang kentalnya suasana peringatan Hari Kemerdekaan di wilayah Universitas Indonesia dan sekitarnya. Tidak adanya pengibaran bendera merah putih di kalangan wilayah sekitar Universitas Indonesia seperti daerah Kukusan dan sejenisnya, dimana penghuni daerah tersebut mayoritas mahasiswa-mahasiswi terbaik Indonesia yang berhasil menumbangkan 95% pendaftar lainnya. Selain itu, tidak ada perayaan tertentu atau acara ‘syukuran’ menyambut hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66. Di wilayah kampus Universitas Indonesia, baik di dalam fakultas maupun jurusan, suasana kemerdekaan terasa sangat kurang. Hanya fakultas-fakultas tertentu yang memperingati momen tersebut. Semua berjalan seperti adanya, biasa saja dan tanpa ‘greget’.
            Fakta lainnya, masih banyak mahasiswa-mahasiswi Universitas Indonesia berkeliaran di tempat-tempat umum khususnya mahasiswa baru yang seharusnya mengikuti upacara bendera di Lapangan Rotunda bersama Rektor. Banyak diantara mereka yang memboloskan diri bahkan hanya untuk sekedar ‘nongkrong’ di warung-warung maupun bersantai di rumah dan tempat kos masing-masing. Apakah ini bentuk realisasi mahasiswa sebagai pemegang tongkat estafet bangsa ?
            Semua terasa berbeda ketika saya pulang menuju kampung halaman, salah satu daerah di Jawa Tengah. Saya tersentak melihat begitu banyak bendera yang berkibar di setiap rumah, bendera-bendera kecil yang bergelantungan menghubung satu rumah dengan rumah lainnya, dan masih banyak lagi. Semangat nasionalisme dan patriotisme begitu terpancar, meski banyak generasi muda yang pergi merantau untuk menimba ilmu dan hanya menyisakan generasi-generasi tua. Mengapa kita sebagai mahasiswa, sang generasi muda justru kalah dengan generasi tua? Bukankah kita Sang penerus bangsa, tonggak pergerakan bangsa, seharusnya lebih terdidik? Bagaimanakah kita mengaplikasikan semangat nasionalisme dan rasa  patriotisme tersebut ?

Pudarnya Kilau Permata
            Batu permata terjadi di dalam perut bumi dan prosesnya berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum batu tersebut ditemukan dan diolah hingga dapat dipakai oleh manusia sebagai permata. Permata memancarkan cahaya yang berkilau membuat hati siapapun terpana ketika melihatnya. Begitu pula dengan semangat nasionalisme dan rasa patriotisme. Merekalah sebuah kilau permata. Semangat dan rasa tersebut telah terproses ratusan tahun yang lalu dalam diri para pejuang, hingga mencapai awal keberhasilan berupa Sumpah Pemuda yang kemudian berlanjut pada Proklamasi Kemerdekaan.
            “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country” Maman Abdurakhman, Ketua BEM UI, pada halaman awal booklet OKK UI 2011. Kebanyakan kaum generasi muda hanya menyalahkan negara dan  mengintimidasi pemerintah tanpa melihat dan bertanya “Apa yang sudah saya berikan pada negara ?”. Apatisme telah menggerogoti kaum mahasiswa tak terkecuali mahasiswa Universitas Indonesia, acuh tak acuh dan individualisme seakan menjadi bumerang dalam dunia kampus. Semangat nasionalisme dan rasa patriotisme semakin rapuh. Kilau permata tersebut seakan pudar termakan waktu dan lapuk oleh jamur.
            Kibaran bendera memang bukan hal mutlak yang menunjukkan seberapa besar jiwa patriot yang kita miliki. Tetapi, Sang Merah Putih adalah sebuah simbolis yang wajib kita junjung tinggi dan hargai karena ia mengandung makna sakral, merah adalah berani, merah adalah darah, keberanian para pejuang mengucurkan darahnya serta putih adalah suci, putih adalah ketulusan, kesucian hati dan ketulusan para pahlawan melawan kolonial dalam pertempuran jiwa demi meraih kemerdekaan. Untuk siapakah kemerdekaan ini ? Dan siapakah yang merasakannya? Tentunya dan tak lain adalah untuk kita, kitalah yang merasakan buah perjuangan para pendahulu, sedangkan mereka, tak banyak dari mereka yang tidak merasakan setitik asap pun bara kemerdekaan.
            Kita sebagai generasi muda, sebagai mahasiswa makara kuning, mahasiswa terbaik bangsa dari universitas yang menyandang nama negara, dan juga sebagai tunas bangsa, akankah kita terus tumbuh menjadi pohon besar yang kokoh nan permai? Atau akankah kita terus membiarkan kilau permata semakin pudar ? Akankah kita terus acuh tak acuh dan apatis ? Akankah kita terus mengabaikan perjuangan para pendahulu kita? Mari kita membuka diri, berintropeksi diri, dan berjuang mempertahankan kilau permata melalui ilmu yang kita miliki. Kemudian mengaplikasikan dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 ke dalam realita kehidupan. Berusahalah memberikan yang terbaik kepada negara dan tidak bersikap apatis, jangan pernah biarkan kilau permata kita pudar terseret arus globalisasi. Buktikan bahwa we are the yellow jacket!


                                                                                    Oleh :
                                                                                    Ria Kusuma Dewi
                                                                                                                1106005396
                                                                        Teknik Kimia / Fakultas Teknik

No comments:

Post a Comment