Sekilas
menilik kembali kilasan balik akan tetesan darah para pejuang dalam menggapai seuntai
kata “merdeka”. Perjuangan tiada henti selama tiga setengah abad melawan
kolonialisme menorehkan secoreh perjalanan besar dari sebuah bangsa yang besar.
Besar dengan sebuah keinginan, motivasi dan pergerakan. Besar dengan beragam
suku dan kultur. Besar oleh semangat patriotisme dan nasionalisme. Besar oleh
eloknya permadani alam. Benih-benih patriotisme yang tertanam selama pra-kemerdekaan
telah berkembang menjadi tunas kebangsaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi
bukti konkret tonggaknya tunas kebangsaan.
Patriotisme
dan Nasionalisme
Patriotisme
didefinisikan sebagai paham cinta tanah air. Seorang pejuang sejati memiliki
semangat, sikap, dan perilaku mencintai dan membela tanah airnya dengan jiwa
rela berkorban, rela mengorbankan segalanya demi terwujudnya suatu visi
bersama. Tidak hanya itu, seorang pejuang sejati selalu menempatkan persatuan
dan kesatuan bangsa di atas kepentingan kelompok ataupun kepentingan pribadinya.
Menurut
L. Stoddard, “Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan,
yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu
kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu
bangsa”. Nasionalisme berada pada titik persinggungan antara politik, teknologi
dan transformasi sosial. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan sangat
berbeda karena nasionalisme yang membawa kemajuan peradaban manusia.
Nasionalisme yang melahirkan suatu bangsa, bagaimana dengan adanya paham
tersebut timbullah keselarasan visi menuju satu cita, salah satunya bangsa
Indonesia. Dengan visi mengalahkan kaum kolonialisme dan didasarkan pada latar
belakang yang sama, para pahlawan bangsa rela gugur dalam pertempuran demi
terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Adanya Sumpah Palapa menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia memang telah lahir sejak dahulu kala, rasa kesatuan dan persatuan pun telah
terpatri kuat hingga satu momen bersejarah tertoreh pada 17 Agustus 1945.
Fenomena
Konkret perilaku
yang sesuai dengan semangat dan sikap patriotisme yaitu mengibarkan bendera Merah
Putih di halaman rumah saat hari besar nasional, mengikuti upacara bendera
dengan khidmat dan sungguh-sungguh, melaksanakan upacara hari besar Nasional
seperti upacara kemerdekaaan, sumpah pemuda, dll serta mengamalkan Pancasila
dan UUD 1945 dengan benar.
Melihat
paragraf di atas, rupanya konkret perilaku tersebut hanyalah hitam di atas putih
belaka tanpa ada realisasi nyata. Contoh konkret tersebut hanya sebagai bentuk
formalitas kalangan pelajar maupun masyarakat dalam menjawab sebuah wacana
yaitu mengenai persoalan bagaimana cara mempertahankan jiwa patriotisme. Seperti
apakah bukti konkret patriotisme tersebut? Pada tanggal 17 Agustus 2011 lalu, saya
merasakan sendiri kurang kentalnya suasana peringatan Hari Kemerdekaan di
wilayah Universitas Indonesia dan sekitarnya. Tidak adanya pengibaran bendera
merah putih di kalangan wilayah sekitar Universitas Indonesia seperti daerah
Kukusan dan sejenisnya, dimana penghuni daerah tersebut mayoritas
mahasiswa-mahasiswi terbaik Indonesia yang berhasil menumbangkan 95% pendaftar
lainnya. Selain itu, tidak ada perayaan tertentu atau acara ‘syukuran’ menyambut
hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66. Di wilayah kampus
Universitas Indonesia, baik di dalam fakultas maupun jurusan, suasana
kemerdekaan terasa sangat kurang. Hanya fakultas-fakultas tertentu yang
memperingati momen tersebut. Semua berjalan seperti adanya, biasa saja dan
tanpa ‘greget’.
Fakta
lainnya, masih banyak mahasiswa-mahasiswi Universitas Indonesia berkeliaran di
tempat-tempat umum khususnya mahasiswa baru yang seharusnya mengikuti upacara
bendera di Lapangan Rotunda bersama Rektor. Banyak diantara mereka yang memboloskan
diri bahkan hanya untuk sekedar ‘nongkrong’ di warung-warung maupun bersantai
di rumah dan tempat kos masing-masing. Apakah
ini bentuk realisasi mahasiswa sebagai pemegang tongkat estafet bangsa ?
Semua
terasa berbeda ketika saya pulang menuju kampung halaman, salah satu daerah di
Jawa Tengah. Saya tersentak melihat begitu banyak bendera yang berkibar di
setiap rumah, bendera-bendera kecil yang bergelantungan menghubung satu rumah
dengan rumah lainnya, dan masih banyak lagi. Semangat nasionalisme dan
patriotisme begitu terpancar, meski banyak generasi muda yang pergi merantau
untuk menimba ilmu dan hanya menyisakan generasi-generasi tua. Mengapa kita
sebagai mahasiswa, sang generasi muda justru kalah dengan generasi tua?
Bukankah kita Sang penerus bangsa, tonggak pergerakan bangsa, seharusnya lebih
terdidik? Bagaimanakah kita mengaplikasikan semangat nasionalisme dan rasa patriotisme tersebut ?
Pudarnya
Kilau Permata
Batu
permata terjadi di dalam perut bumi dan prosesnya berlangsung ratusan bahkan
ribuan tahun sebelum batu tersebut ditemukan dan diolah hingga dapat dipakai
oleh manusia sebagai permata. Permata memancarkan cahaya yang berkilau membuat
hati siapapun terpana ketika melihatnya. Begitu pula dengan semangat
nasionalisme dan rasa patriotisme. Merekalah sebuah kilau permata. Semangat dan
rasa tersebut telah terproses ratusan tahun yang lalu dalam diri para pejuang,
hingga mencapai awal keberhasilan berupa Sumpah Pemuda yang kemudian berlanjut
pada Proklamasi Kemerdekaan.
“Ask
not what your country can do for you, ask what you can do for your country” Maman
Abdurakhman, Ketua BEM UI, pada halaman awal
booklet OKK UI 2011. Kebanyakan kaum generasi muda hanya menyalahkan negara
dan mengintimidasi pemerintah tanpa
melihat dan bertanya “Apa yang sudah saya berikan pada negara ?”. Apatisme
telah menggerogoti kaum mahasiswa tak terkecuali mahasiswa Universitas
Indonesia, acuh tak acuh dan individualisme seakan menjadi bumerang dalam dunia
kampus. Semangat nasionalisme dan rasa patriotisme semakin rapuh. Kilau permata
tersebut seakan pudar termakan waktu dan lapuk oleh jamur.
Kibaran
bendera memang bukan hal mutlak yang menunjukkan seberapa besar jiwa patriot
yang kita miliki. Tetapi, Sang Merah Putih adalah sebuah simbolis yang wajib
kita junjung tinggi dan hargai karena ia mengandung makna sakral, merah adalah
berani, merah adalah darah, keberanian para pejuang mengucurkan darahnya serta
putih adalah suci, putih adalah ketulusan, kesucian hati dan ketulusan para
pahlawan melawan kolonial dalam pertempuran jiwa demi meraih kemerdekaan. Untuk
siapakah kemerdekaan ini ? Dan siapakah yang merasakannya? Tentunya dan tak
lain adalah untuk kita, kitalah yang merasakan buah perjuangan para pendahulu,
sedangkan mereka, tak banyak dari mereka yang tidak merasakan setitik asap pun
bara kemerdekaan.
Kita
sebagai generasi muda, sebagai mahasiswa makara kuning, mahasiswa terbaik
bangsa dari universitas yang menyandang nama negara, dan juga sebagai tunas
bangsa, akankah kita terus tumbuh menjadi pohon besar yang kokoh nan permai?
Atau akankah kita terus membiarkan kilau permata semakin pudar ? Akankah kita
terus acuh tak acuh dan apatis ? Akankah kita terus mengabaikan perjuangan para
pendahulu kita? Mari kita membuka diri, berintropeksi diri, dan berjuang
mempertahankan kilau permata melalui ilmu yang kita miliki. Kemudian mengaplikasikan
dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 ke dalam realita kehidupan. Berusahalah
memberikan yang terbaik kepada negara dan tidak bersikap apatis, jangan pernah
biarkan kilau permata kita pudar terseret arus globalisasi. Buktikan bahwa we are the yellow jacket!
Oleh
:
Ria Kusuma Dewi
1106005396
Teknik Kimia
/ Fakultas Teknik
No comments:
Post a Comment