Rabu, 5 September 2012, saya mengikuti kuliah tamu yang diselenggarakan oleh IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakann Indonesia) dengan tema "Potensi Shale Gas ditinjau dari segi petrofisikanya". Pembicaranya adalah seorang dosen Universitas Trisakti yang telah expert di bidang perminyakan bernama Pak Lukas. Materi dikupas cukup detail namun jujur saja saya masih sedikit mengambang dengan materi tersebut karena baru pertama kalinya saya mendengar kata shale gas sebagai migas non konvensional.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Daya Alam Konvensional adalah potensi alam yang berasal atau diambil dari alam dengan teknologi yang biasa digunakan (natural), seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi, dan batubara. Sedangkan sumber daya alam nonkonvensional adalah potensi alam yang banyak berasal dari temuan atau pengembangan teknologi seperti accu (aki) atau baterai, nuklir, solar cell dan sejenisnya. Sumber daya nonkonvensional tetap menggunakan bahan baku atau bahan yang bersumber dari alam juga, hanya saja diproses dan diubah dalam bentuk yang lebih praktis untuk siap digunakan.
Bagaimana dengan migas nonkonvensional?
Migas nonkonvensional bukanlah suatu hal yang baru. Potensi ini sudah teridentifikasi namun masih banyak diabaikan karena rendahnya permeabilitas untuk mengalirkan migas tersebut. Contohnya yaitu shale oil, oil sand, shale gas, tight sand dan coal-bed methane (gas metana batubara). Pada dasarnya sumber migas non konvensional ini sangat besar bila dibandingkan dengan migas konvensional. Aplikasi teknologi perekahan (fracturing) dan pemboran horizontal yang umum digunakan pada sumur migas konvensional, merupakan terobosan dalam rangka memproduksikan akumulasi migas non-konvensional.
Di Amerika Serikat (AS), sejak tahun 2006 produksi shale gas meningkat luar biasa. Hal ini berakibat turunnya harga gas secara dramatis disana. Harga gas spot Henry-Hub, tahun 2006 mencapai 13 $ per mmbtu, saat ini “hanya” berharga antara 2 - 3 $ per mmbtu.
shale gas drilling |
Adanya “revolusi” gas non-konvensional ini sedikit banyak akan mempengaruhi geopolitik energi. Tambahan produksi gas non-konvensional pada masa yang akan datang akan berpengaruh terhadap rute perdagangan LNG global. Majalah Petroleum Economist (edisi April 2012) menulis ancaman serius shale gasdari AS akan dirasakan oleh LNG Australia yang sedang melakukan investasi besar besaran. Impor LNG dari shale gas di AS diperkirakan akan lebih murah karena harganya mengacu kepada Henry- Hub yang merupakan harga patokan gas di Amerika Serikat. Sementara harga LNG tradisional umumnya mengacu kepada harga minyak.
Sementara untuk minyak non-konvensional, tambahan pasokan berasal dari shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand di Kanada. Akibatnya, sebagaimana diperkirakan oleh pakar migas Leonardo Maugeri, produksi minyak AS dalam satu dekade kedepan akan mendekati 12 juta barel per hari, nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Begitu pula dengan Kanada, tambahan produksi minyak akibat kegiatan migas non-konvensional akan meningkat signifikan, mereka akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil pada dekade kedepan, melalui produksi dari wilayah Laut Dalam, produksi minyak (konvensional) mereka akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.
Tambahan produksi minyak dunia kedepan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah melalui tambahan produksi dari sumur sumur minyak yang di rehabilitasi akibat kerusakan pada masa perang. Meningkatnya aktivitas minyak non-konvensional di AS ini akan secara dramatis mengurangi kebutuhan impor minyak negara tersebut.
Sumber daya (resources) migas non-konvensional di dunia sangat melimpah, pertanyaannya: apakah kesuksesan pengembangannya di AS dan Kanada dapat dengan mudah di “copy paste” oleh negara lain? Jawabannya: tidak, khususnya dalam jangka pendek. Kesuksesan industri migas non-konvensional di kedua negara tersebut disamping tersedianya sumber daya migas non-konvensional yang sangat besar, juga didukung oleh adanya akses terhadap sistem pipanisasi lokal, faktor jarak yang relatif dekat antara lokasi proyek dengan konsumen, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan penyedia jasa untuk kegiatan hulu migas dan ketersediaan infrastruktur. Adanya kompetisi sesama perusahaan yang terlibat dalam pengembangan gas non-konvensional mendorong terjadinya penurunan biaya. Disamping itu di AS agak unik, berbeda dengan negara lain dimana migas merupakan kekayaan yang dikuasai negara, di AS, migas merupakan kepemilikan privat (private ownerhip of mineral rights). Tentu saja faktor harga gas domestik yang tinggi selama periode 2005 - 2008 juga menjadi pendorong sehingga proyek menjadi ekonomis.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berikut artikel yang saya temukan mengenai potensi shale gas di Indonesia.
Potensi Shale Gas Indonesia Capai 574 TSCF
JAKARTA - Indonesia tengah mengembangkan gas unconventional selain gas metana batubara (CBM) yaitu shale gas. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan sekitar 574 TSCF. Lebih besar jika dibandingkan CBM yang sekitar 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF.
Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo dalam seminar nasional mengenai Kebijakan Energi Nasional (KEN) di DPR, kemarin, mengemukakan, potensi shale gas Indonesia tersebut termasuk besar. Shale gas yang diperoleh dengan cara merekahkan batuan induk, bisa dikembangkan lantaran kemajuan teknologi.
“Jadi sekarang orang cari gas tidak hanya di batuan reservoar, tapi juga di batuan induknya. Itu semua karena kemajuan teknologi,” tambahnya.
Pengembangan shale gas, lanjut Widjajono, merupakan sesuatu hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Namun dengan adanya kemajuan teknologi, hal tersebut dapat dilakukan.
“Yang dulu kita tidak bisa memperkirakan (dapat dilakukan), ternyata bisa. Dulu itu kita tidak bisa memperkirakan orang bisa ke bulan, ternyata ke bulan,” tutur Widjajono.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah lebih dulu mengembangkan shale gas. Dampak dari pengembangan itu, harga gas di AS turun tajam karena ketersediaan gas yang melimpah dari shale gas. Turunnya harga gas AS, tak ayal menarik perhatian negara lain termasuk juga PT Pertamina yang berencana mengimpor gas dari negara tersebut.
Hingga saat ini, pemerintah telah menerima pengajuan permintaan joint study shale gas dari 10 investor. Dalam melakukan joint study tersebut, investor akan bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran.
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation.
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi gas, sekitar 5 tahun. Pemerintah saat ini tengah menyusun aturan hukum pengembangan shale gas.
( sumber: http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5214-potensi-shale-gas-indonesia-capai-574-tscf.html )
---------------------------------------------------------------------------------------------
Demikianlah informasi mengenai potensi shale gas. Salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari Pak Lukas adalah janganlah terlalu mengejar materi sampai-sampai keluarga dinomorduakan. Walau bagaimanapun keluarga tetaplah nomor satu, mengapa? Tanpa keluarga, kita tidak akan menjadi seperti ini. Merekalah pahlawan kita sesungguhnya. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Pengalaman tidak harus berasal dari diri sendiri tetapi juga berasal dari orang lain. Semoga bermanfaat.
Sumber pustaka:
No comments:
Post a Comment