Sunday, July 17, 2011

Polantas , Antara Hukum dan Perasaan terhadap Penilangan Kendaraan Bermotor

Seiring perkembangan jaman , kemajuan teknologi khususnya dalam bidang transportasi tak bisa dielakkan lagi . Adanya penemuan mesin memunculkan jenis-jenis kendaraan yang didesain seperti sekarang ini . Tentunya , kemajuan tersebut membawa dampak positif dan negatif . Dampak positifnya yaitu mempermudah, memperlancar dan mempercepat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Adapun kerugian yang ditimbulkan yakni semakin maraknya kecelakaan dan kemacetan . Hal tersebut dipicu oleh banyaknya pelanggaran lalu lintas oleh pengendara .

Dengan bertambahnya jumlah kendaraan di suatu daerah maka untuk mengatasi arus lalu lintas agar dapat berjalan lancar dan aman diperlukan bantuan dari pihak kepolisian yang bertugas dalam bidang lalu lintas atau yang lebih dikenal sebagai Polantas (Polisi Lalu Lintas). Seorang Polantas mempunyai tugas utama dalam pengaturan arus lalu lintas di daerah di mana dia bertugas. Ia berkewajiban untuk mengamankan dan memperlancar arus lalu lintas terutama terhadap para pengendara kendaraan bermotor dan para pejalan kaki yang mau menyebrang.

Rambu-rambu lalu lintas sudah dibuat . Aturan penggunaan lalu lintas juga sudah digembar-gemborkan . Namun , para pengendara kendaraan bermotor sering tidak mempedulikan apa yang telah ditetapkan dan dibuat oleh pihak Polantas. Adanya pengendara kendaraan bermotor yang tidak mempedulikan aturan lalu lintas maka dari pihak Polantas sering mengadakan tindakan pengamanan dan penertiban.

Penertiban yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dikenal dengan sebutan “tilang” yang sebenarnya kepanjangan dari “Bukti Pelanggaran”. Tilang lebih akrab diartikan sebagai usaha dari Polantas untuk menertibkan para pengendara kendaraan bermotor yang tidak disiplin. Dalam penilangan , para Polantas selalu mengecek kelengkapan surat-surat seperti SIM (Surat Ijin Mengemudi), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dan kelengkapan alat-alat kendaraan seperti kaca spion, lampu, dan knal pot. Bagi si pengendara yang kelengkapannya kurang maka motornya akan “disita” atau ditahan. Sedangkan mereka yang kelengkapan motornya lengkap akan dibiarkan melanjutkan perjalanannya.

Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat ialah soal keadilan yang ditunjukkan oleh pihak Polantas dalam melakukan penilangan. Sering dalam penilangan, terdapat pendiskriminasian perlakuan terhadap pengendara kendaraan bermotor. Orang yang dikenal oleh Polantas sering dibebaskan begitu saja sedangkan mereka yang tidak dikenal diberikan surat penilangan dan untuk mengambil kendaraan mereka yang telah ditahan harus membawa uang tebusan sebesar pelanggaran yang dilanggar. Aturan sekarang ,untuk satu kesalahan harus ditebus dengan uang sebesar Rp.50.000. Jika seorang yang melanggar aturan tidak memiliki SIM, tidak menggunakan helm, tidak menggunakan kaca spion dan menggunakan knalpot yang tidak dianjurkan, maka konsekuensinya harus menebus dengan uang sebesar Rp.200.000 karena telah melanggar empat aturan.

Sungguh ironis, hukum dapat diuangkan


Kembali ke persoalan pendiskriminasian dalam penilangan, yang menjadi alasan pendiskriminasian ini yakni soal perasaan. Seorang Polantas merasa tidak enak jika harus menahan pengendara yang notabene adalah temannya, orang tuanya, saudaranya, kenalannya ataupun rekan polisinya. Idealnya seorang yang melanggar aturan harus dikenai sangsi.

Pengkotak-kotakkan perlakuan terhadap pelanggar aturan adalah suatu pelanggaran hak asasi manusia. Mengapa demikian? Karena semua manusia adalah sama dihadapan hukum seperti tercantum pada UUD 1945 pasal 28 . Jika penegak hukum membuat pengkotak-kotakkan terhadap pelanggar hukum berarti ia sebenarnya telah merendahkan martabat orang lain. Ia melihat adanya perbedaan martabat manusia padahal semua manusia pada hakekatnya sama dihadapan Sang Pencipta.

Oleh karena itu, yang harus diperhatikan oleh para Polantas ialah dalam penertiban para pengguna kendaraan bermotor hendaknya aspek keadilan benar-benar ditegakkan. Soal keadilan dan kebenaran bukanlah diselesaikan dengan perasaan tetapi dengan hukum yang berlaku. Hukum pada hakekatnya mengarah pada kebaikan bersama, sehingga salah jika ada anggapan dalam diri seorang Polantas bahwa, “ Saya bersalah bila menertibkan orang yang melanggar aturan yang notabene dekat dengan saya. Jika saya berperasaan kepada orang yang dekat dengan saya , mengapa orang lain tidak? Inikan perbuatan yang menunjukkan bahwa saya tidak adil dan tidak menghargai hak asasi manusia. Di manakah jati diri saya sebagai penegak hukum, jika dalam realisasinya saya melayukan hukum”. Seharusnya hal tersebut telah tertanamkan pada pribadi masing-masing Polantas sehingga antara hukum dan perasaan dapat dipisahkan .

Oleh:
Ria Kusuma Dewi
12 IPA 1 / 23

No comments:

Post a Comment